Minggu, 27 Januari 2013

KEWAJIBAN ANAK TERHADAP ORANG TUA

  “7 Tanggung Jawab Anak terhadap Orang Tua” 
1. Menghayati Tugas Orang Tua
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: ‘Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri’.” (QS. Al-Ahqaaf: 15)
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman: 14)
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil’.” (QS. Al-Israa’: 24)
Pada ketiga ayat di atas, Allah memaparkan
perjalanan orang tua, khususnya ibu, dalam mengarungi kehidupan anak sejak masih janin sampai dengan anak melangkah dewasa. Pengalaman-pengalaman pahit yang diderita seorang ibu tidak dapat digantikan oleh pihak lain, namun sang ibu tetap dengan penuh kesadaran dan kesungguhan menerimanya secara ikhlas mengarungi penderitaan demi penderitaan, kesulitan demi kesulitan, kepayahan demi kepayahan, untuk menjadikan anaknya dapat mencapai tingkat pertumbuhan fisik, mental maupun intelektual, menuju pada tingkat kesempurnaan sebagai manusia yang sanggup menempuh dunia ini secara layak.
Jadi, pada prinsipnya, yang harus kita sadari ialah bahwa segala pengorbanan orang tua kita sama sekali tidak pernah dapat diganti dan diimbangi dengan berapapun materi yang kita miliki. Kita tidak dapat membalas pengorbanannya sampai kapanpun. Sebaliknya, orang tua kita merasa cukup dirinya terbalas jika anak berbakti kepadanya dan hidup di jalan yang benar.
2. Hormat dalam Ucapan dan Perbuatan
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Israa’: 23)
Ayat di atas dengan tegas menetapkan suatu tanggung jawab anak terhadap kedua orang tuanya yang masih hidup, baik serumah dengan mereka atau telah berpisah. Jika dalam keseharian anak bersama dengan orang tuanya, maka anak dengan sungguh-sungguh berkewajiban menunjukkan sikap hormat dan mengucapkan kata-kata yang menyatakan rasa memuliakan mereka. Pada ayat ini dengan tegas Allah menggunakan kata-kata: “Tuhanmu telah menetapkan”, bukan hanya berupa kata-kata: “Berbuatlah baik kamu kepada orang tuamu”. Dengan adanya penegasan “Tuhanmu telah menetapkan”, maka keharusan anak untuk bersikap hormat dan berbakti kepada kedua orang tuanya merupakan suatu kewajiban agama secara mutlak.
Selain itu, ayat di atas telah menetapkan adanya beberapa kewajiban anak terhadap orang tua. Pertama, kewajiban berlaku baik. Kedua, anak dilarang mengucapkan kata-kata yang berkonotasi atau mempunyai arti merendahkan orang tua. Ketiga, anak dilarang menghardik orangtua.
Jadi, kapanpun dalam keadaan bagaimanapun anak wajib menghormati orang tuanya baik dalam ucapan dan perbuatan.
3. Menundukkan Diri di Hadapan Orang Tua
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan …” (QS. Al-Israa’: 24)
Ayat ini secara rinci mengupas tentang pengertian dan pemahaman yang benar mengenai sikap anak dalam bertatap muka dengan orang tua.
Dalam beberapa riwayat disebutkan mengenai sikap Fathimah, putri Rasulullah saw terhadap Rasulullah saw pada saat berkunjung ke rumahnya. Ketika Fathimah menyambutnya, jika ia sedang duduk, maka ia segera berdiri menyambut kedatangan ayahandanya itu, lalu ia dudukkan Rasulullah saw di tempat duduknya, kemudian Fathimah membungkukkan badan, mencium kedua lutut Rasulullah saw. Dalam menghadapi sikap Fathimah yang demikian itu, Rasulullah saw sendiri tidak melarangnya, bahkan beliau menyambutnya dengan mencium dahi Fathimah.
Jadi, menundukkan diri di hadapan orang tua merupakan kewajiban anak yang tidak boleh diabaikan. Mengabaikan hal tersebut berarti dosa dan durhaka terhadap Allah dan Rasul-Nya.
4. Menjaga Kehormatan Orang Tua
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, sesungguhnya Rasulullah saw pernah bersabda: “Termasuk golongan dosa besar ialah perbuatan seseorang yang memaki ibu bapaknya.” Lalu mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang itu memaki ibu bapaknya?” Sabdanya: “Yaitu seseorang memaki ayah orang lain, lalu orang lain itu membalas memaki ayah orang tersebut; dan ia mencaci ibunya, lalu ia balas mencaci ibunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Yang dimaksud dengan menjaga kehormatan orang tua ialah menjaga kehormatan dan martabat orang tua dalam lingkungan pergaulan di tengah masyarakat. Ini merupakan kewajiban anak terhadap orang tuanya, baik ketika berhadapan dengan orang tuanya ataupun dalam pergaulan dengan teman-temannya sehari-hari.
Dalam pergaulannya sehari-hari, anak wajib menjaga martabat dan kehormatan orang tuanya. Ia tidak boleh merendahkan martabat orang tuanya secara tidak langsung. Karena itu, kehormatan orang tua tidak boleh dijadikan bahan olok-olokan, baik dilakukan secara serius maupun sekedar bermain-main. Dalam menghormati ibu bapaknya, seorang anak harus menempatkan mereka di atas kehormatan dirinya sendiri. Jika anak berhadapan dengan ibu bapaknya, maka hendaklah ia mendudukkan sang ibu dan bapaknya lebih dulu sebelum ia sendiri duduk. Jika anak hendak berdiri untuk berjalan lewat depan orang tuanya, maka hendaklah ia tidak berjalan dengan membusungkan dada dan dengan derap langkah kesombongan. Walaupun posisi anak lebih tinggi daripada orang tuanya, anak tetap harus mengakui orang tuanya, ia tidak boleh merasa malu dengan tidak mengakuinya.
Jika dalam penegakan keadilan atau hukum yang benar, di sini tak dipandang dari sudut martabat dan kehormatan orang tua. Karena dalam menegakkan keadilan dan kebenaran, tanggung jawab utama kita adalah kepada Allah SWT. Dalam hal bertanggung jawab kepada Allah ini, kita wajib mendahulukan hak Allah daripada hak manusia.
Dengan kata lain, bagaimanapun kondisi orang tua kita, kita wajib menjunjung tinggi martabatnya di mana dan kapan pun kita berada.
5. Mengutamakan Kepentingan Orang Tua daripada Kepentingan Masyarakat
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw, lalu ia berkata: “Saya berbai’at kepada Tuan untuk hijrah dan berjihad mencari pahala dari sisi Allah Ta’ala.” Lalu Nabi saw bertanya: “Apakah engkau mempunyai orang tua yang masih hidup?” Jawabnya: “Masih, bahkan kedua-duanya.” Lalu Nabi saw bertanya: “Apakah kamu mau pahala dari sisi Allah?” Jawabnya: “Ya.” Lalu beliau bersabda: “Pulanglah kepada ibu bapakmu dan santunilah kedunya dengan baik.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kasus yang terjadi dalam riwayat di atas member kejelasan kepada kita bagaimana cara yang ditetapkan Islam jika anak menghadapi dua kepentingan yang berbeda dalam waktu yang bersamaan, antara kepentingan orang tua dan kepentingan umum. Penegasan Rasulullah saw pada bagian akhir Hadits di atas adalah perintah kepada anak agar pulang kepada ibu bapaknya untuk menyantuni kepentingan mereka dengan sebaik-baiknya dan tidak meninggalkan mereka untuk berjihad dan berhijrah. Ini berarti dalam pandangan Islam, kepentingan orang tua terletak di atas kepentingan masyarakat. Karena itu, tidak ada alasan bagi anak untuk berdalih mengutamakan kepentingan masyarakat daripada kepentingan ibu bapaknya yang menuntut pengabdian anak dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Jadi, apabila terjadi perbenturan kepentingan antara kepentingan orang tua dengan masyarakat, maka anak harus mendahulukan kepentingan orang tuanya.
6. Mengutamakan Kepentingan Ibu daripada Kepentingan Ayah
“Tangan orang yang memberi adalah lebih tinggi, karena itu mulailah dari orang yang engkau tanggung: ibumu, bapakmu, kemudian saudara perempuanmu, saudara laki-lakimu, kemudian orang yang masi dekat denganmu, lalu orang berikutnya yang masih dekat denganmu pula.” (HR. Nasa’i)
Di dalam Hadits di atas disebutkan dengan tegas bahwa kepentingan ibu harus didahulukan daripada kepentingan bapak. Karena itu, bila seorang anak pada saat yang sama menghadapi permintaan orang tuanya dan ia hanya mampu mengabulkan salah satunya saja, maka anak wajib mendahulukan kepentingan ibunya. Penetapan hokum semacam ini oleh para ahli ushul fiqih disebut berdasarkan dhilalatul isyarah.
Mungkin saja orang akan menolak cara penetapan hokum berdasarkan dhilalatul isyarah, karena hal itu dipandang sebagai hal yang bertentangan dengan ayat lain yang tidak membedakan antara hak ibu dan hak ayah dalam memperoleh ketaatan dan perlakuan baik anak-anaknya. Terhadap pendapat ini dapat kita jelaskan bahwa karena ayat tersebut sifatnya umum, maka adanya uraian rinci pada QS. Al-Ahqaaf : 15 tidaklah bertentangan, tetapi justru member gambaran yang jelas pada ayat yang masih umum di atas.
Jadi, mendahulukan kepentingan ibu daripada ayah tetap merupakan kewajiban anak terhadap orang tua.
7. Menghormati Agama Orang Tua
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Luqman: 15)
Ayat ini dengan tegas memerintahkan anak menghormati kedua orang tuanya yang bukan Muslim walaupun orang tua selalu dan terus berusaha mengajak anak pindah ke agamanya yang tidak benar. Ayat ini pun menegaskan agar anak tetap berpegang teguh pada Islam dan tidak mengikuti ajaran orang tuanya yang sesat. Anak diperintah oleh Allah mengambil garis tegas antara perbedaan keyakinan agamanya dengan orang tuanya dan tetap menjalankan kewajiban menghormati mereka.
 Sumber: Mufidah's Blog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar