Melafadzkan niat sudah masyhur dikalangan masyarakat, hal ini
bukan tanpa dasar tapi karena memang memiliki landasan dalam ilmu fiqh.
Contoh melafadzkan niat adalah membaca “ushulli fardhush shubhi
rak’atayni mustaqbilal kiblati ada’an lillahi ta’ala”, hal semacam ini
biasa dibaca oleh kalangan Muslimin (terutama di Indonesia) sebelum
Takbiratul Ihram artinya dibaca sebelum melaksanakan shalat, tidak
bersamaan dengan shalat dan bukan bagian dari rukun shalat.
Seperti
yang sudah diketahui bahwa permulaan shalat adalah niat dan takbiratul
ihram dilakukan bersamaan dengan niat. Niat tidak mendahului takbir
(Takbiratul Ihram) dan tidak pula sesudah takbir. Sebagaimana dikatakan
oleh
al-Imam asy-Syafi’I dalam kitab Al-Umm Juz 1, pada Bab Niat pada Shalat (باب النية في الصلاة ) ;
قال الشافع: والنية لا تقوم مقام التكبير ولا تجزيه النية إلا أن تكون مع التكبير لا تتقدم التكبير ولا تكون بعده
“..niat
tidak bisa menggantikan takbir, dan niat tiada memadai selain bersamaan
dengan Takbir, niat tidak mendahului takbir dan tidak (pula) sesudah
Takbir.”
Sekali lagi, niat itu bersamaan dengan Takbir. Hal senada juga dinyatakan oleh
al-‘Allamah asy-Syaikh Zainuddin bin Abdul ‘Aziz al-Malibariy asy-Syafi’i dalam Fathul Mu’in Hal 16 ;
. (مقرونا به) أي بالتكبير، (النية) لان التكبير أول أركان الصلاة فتجب مقارنتها به،
“..Takbiratul
ihram harus dilakukan bersamaan dengan niat (shalat), karena takbir adl
rukun shalat yang awal, maka wajib bersamaan dengan niat”
Al-Imam An-Nawawi, didalam Kitab Raudhatut Thalibin, pada fashal (فصل في النية يجب مقارنتها التكبير)
يجب أن يبتدىء النية بالقلب مع ابتداء التكبير باللسان
“diwajibkan memulai niat dengan hati bersamaan dengan takbir dengan lisan”
Al-Qadhi Abu al-Hasan al-Mahamiliy, didalam kitab Al-Lubab fi al-Fiqh asy-Syafi'i, pada pembahasan (باب فرائض الصلاة) ;
النية، والتكبير، ومقارنة النية للتكبير
"Niat dan Takbir, niat bersamaan dengan takbir"
Asy-Syekh Abu Ishaq asy-Syairaziy, didalam Tanbih fi Fiqh Asy-Syafi'i (1/30) :
وتكون النية مقارنة للتكبير لا يجزئه غيره والتكبير أن يقول ألله أكبر أو الله الأكبر لا يجزئه غير ذلك
"dan
adanya niat bersamaan dengan takbir, tidak cukup selain itu. dan takbir
yaitu mengucapkan (ألله أكبر) atau ( الله الأكبر), selain yang demikian
tidaklah cukup (bukan takbir)."
Jadi, shalat telah
dinyatakan mulai manakala sudah takbiratul Ihram yg sekaligus bersamaan
dengan niat (antara niat dan takbir adalah bersamaan). Aktifitas atau
ucapan apapun sebelum itu, bukanlah masuk dalam rukun shalat, demikian
juga dengan melafadzkan niat, bukan masuk dalam bagian dari (rukun)
shalat.
Didalam melakukan niat shalat fardlu, diwajibkan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut ;
- Qashdul fi’li (قصد فعل) yaitu menyengaja mengerjakannya, lafadznya seperti (أصلي /ushalli/”aku menyengaja”)
- Ta’yin (التعيين) maksudnya adalah menentukan jenis shalat, seperti Dhuhur atau Asar atau Maghrib atau Isya atau Shubuh.
-
Fardliyah (الفرضية) maksudnya adala menyatakan kefardhuan shalat
tersebut, jika memang shalat fardhu. Adapun jika bukan shalat fardhu
(shalat sunnah) maka tidak perlu Fardliyah (الفرضية).
Jadi berniat, semisal (ﺍﺼﻠﻰ ﻓﺮﺽ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﺃﺩﺍﺀ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﻠﻰ/”Sengaja aku shalat fardhu dhuhur karena Allah”) saja sudah cukup.
Sekali
lagi, niat tersebut dilakukan bersamaan dengan Takbiratul Ihram. Yang
dinamakan “bersamaan” atau biasa disebut Muqaranah (ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ) mengadung
pengertian sebagai berikut (Fathul Mu’in Bisyarhi Qurratu ‘Ayn),
. وفي قول صححه الرافعي، يكفي قرنها بأوله
“Menurut pendapat (qoul) yang telah dishahihkan oleh Al-Imam Ar-Rafi’i. bahwa cukup dicamkan bersamaan pada awal Takbir”.
وفي المجموع والتنقيح المختار ما اختاره الامام والغزالي: أنه يكفي فيها المقارنة العرفية عند العوام بحيث يعد مستحضرا للصلاة
“Didalam
kitab Al-Majmu dan Tanqihul Mukhtar yang telah di pilih oleh Al-Imam
Ghazali, bahwa “bersamaan” itu cukup dengan kebiasaan umum (‘Urfiyyah/
العرفية), sekiranya (menurut kebiasaan umum) itu sudah bisa disebut
mencamkan shalat (al-Istihdar al-‘Urfiyyah)”
Imam
Al-Ibnu Rif’ah dan A-Imam As-Subki membenarkan pernyataan diatas, dan
Al-Imam As-Subki mengingatkan bahwa yang tidak menganggap/menyakini
bahwa praktek seperti atas (Muqaranah Urfiyyah ( ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ ﻋﺭﻓﻴﻪ )) tidak
cukup menurut kebiasaan), maka ia telah terjerumus kepada kewas-wasan.
Pada
dasarnya “bersamaan” atau biasa disebut Muqaranah (ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ) adalah
berniat yang bersamaan dengan takbiratul Ihram mulai dari awal takbir
sampai selesai mengucapkannya, artinya keseluruhan takbir, inilah yang
dinamakan Muqaranah Haqiqah ( ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ ﺣﻘﻴﻘﺔ ).
Namun, jika hanya
dilakukan pada awalnya saja atau akhir dari bagian takbir maka itu sudah
cukup dengan syarat harus yakin bahwa yang demikian menurut kebiasaan
(Urfiyyah) sudah bisa dinamakan bersamaan, inilah yang dinamakan
Muqaranah Urfiyyah ( ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ ﻋﺭﻓﻴﻪ ).
Menurut pendapat
Imam Madzhab selain Imam Syafi’i, diperbolehkan mendahulukan niat atas
takbiratul Ihram dalam selang waktu yang sangat pendek.
Tempatnya niat adalah di dalam hati. Sebagaimana diterangkan dalam
Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, pada pembahasan فرائض الصلاة
ومحلها القلب لا تعلق بها باللسان أصلا
“niat tempatnya didalam hati, pada asalnya tidak terikat dengan lisan”
Al-Allamah Al-Imam An-Nawawi, dalam kitab Al-Majmu' (II/43) :
فإن نوى بقلبه دون لسانه أجزأه
“sesungguhnya niat dengan hati tanpa lisan sudah cukup,
Al-Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim asy-Syafi’i, didalam Kitab Fathul Qarib, pada pembahasan Ahkamush Shalat ;
النِّيَةُ) وَ هِيَ قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً بِفِعْلِهِ وَ مُحَلُّهَا اْلقَلْبُ
“niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya dan tempat niat itu berada di dalam hati.”
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, didalam Kifayatul Ahyar, pada bab (باب أركان الصلاة)]
واعلم أن النية في جميع العبادات معتبرة بالقلب فلا يكفي نطق للسان
“Ketahuilah bahwa niat dalam semua ibadah menimbang dengan hati maka tidak cukup hanya dengan melafadzkan dengan lisan”
Demikian juga dikatakan dalam kitab yang sama (Kifayatul Akhyar) pada bab باب فرائض الصوم
لا يصح الصوم إلا بالنية للخبر، ومحلها القلب، ولا يشترط النطق بها بلا خلاف
Tidak
sah puasa kecuali dengan niat, berdasarkan khabar (hadits shahih),
tempatnya niat didalam hati, dan tidak syaratkan mengucapkannya tanpa
ada khilaf”
Keterangan : pada bab Fardhu Puasa ini,
mengucapkan niat tidak disyaratkan artinya bukan merupakan syarat dari
puasa. Dengan demikian tanpa mengucapkan niat, puasa tetap sah. Demikian
juga dengan shalat, melafadzkan (mengucapkan) niat shalat bukan
merupakan syarat dari shalat, bukan bagian dari fardhu shalat (rukun
shalat). Jadi, baik melafadzkan niat (talaffudz binniyah) maupun tidak,
sama sekali tidak menjadikan shalat tidak sah, tidak pula mengurangi
atau menambah-nambah rukun shalat.
Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy, didalam Tuhfatul Muhtaj (تحفة المحتاج بشرح المنهاج) [II/12] :
والنية بالقلب
"dan niat dengan hati"
Al-Hujjatul Islam Al-'Allamah Al-Faqih Al-Imam Al-Ghazaliy, didalam kitab Al-Wajiz fi Fiqh Al-Imam Asy-Syafi'i, Juz I, Kitabus Shalat pada al-Bab ar-Rabi' fi Kaifiyatis Shalat ;
"niat dengan hati dan bukan dengan lisan"
Semua
keterangan diatas hanya menyatakan bahwa niat tempatnya didalam hati
(tidak ada cap bid’ah), niat amalan hati atau niat dengan hati. Demikian
juga dengan niat shalat adalah didalam hati, sedangkan melafadzkan niat
(Talaffudz binniyah) bukanlah merupakan niat, bukan pula aktifitas hati
(bukan amalan hati) namun aktifitas yang dilakukan oleh lisan. Niat
dimaksudkan untuk menentukan sesuatu aktifitas yang akan dilakukan, niat
dalam shalat dimaksudkan untuk menentukan shalat yang akan dilakukan.
Dengan kata lain, niat adalah memaksudkannya sesuatu.
Ibnu Manzur dalam kitabnya yang terkenal yaitu Lisanul ‘Arab (15/347) berkata ;
" Meniatkan sesuatu artinya memaksudkannya dan meyakininya. Niat adalah arah yang dituju”.
Sebagaimana juga dikatakan didalam
kitab Fathul Qarib :
وَ هِيَ قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً بِفِعْلِهِ
“niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya”
Al-Fiqh al-Manhaji 'ala Madzhab Al-Imam asy-Syafi'i, pada pembahasan Arkanush Shalat ;
وهي قصد الشيء مقترناً بأول أجزاء فعله، ومحلها القلب. ودليلها قول النبي"إنما الأعمال بالنيات"
"(Niat),
adalah menyengaja (memaksudkan) sesuatu bersamaan dengan sebagian dari
perbuatan, tempatnya didalam hati. dalilnya sabda Nabi SAW ; ("إنما
الأعمال بالنيات")"
Al-'Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy, didalam As-Siraj Al-Wahaj (السراج الوهاج على متن المنهاج)
وهي شرعا قصد الشيء مقترنا بفعله وأما لغة فالقصد
"(niat) menurut syara' adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan perbuatan, dan menurut lughah adl menyengaja"
Maka,
selagi lagi kami perjelas. Niat adalah amalan hati, niat shalat
dilakukan bersamaan dengan takbiratul Ihram, merupakan bagian dari
shalat (rukun shalat), adapun melafadzkan niat (mengucapkan niat) adalah
amalan lisan (aktifitas lisan), yang hanya dilakukan sebelum takbiratul
Ihram, artinya dilakukan sebelum masuk dalam bagian shalat (rukun
shalat) dan bukan merupakan bagian dari rukun shalat. Niat shalat tidak
sama dengan melafadzkan niat.
Melafadzkan niat (Talaffudz
binniyah) hukumnya sunnah. Kesunnahan ini diqiyaskan dengan melafadzkan
niat Haji, sebagaimana Rasulullah dalam beberapa kesempatan melafadzkan
niat yaitu pada ibadah Haji.
عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُوْلُ : لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا (رواه مسلم)
“Dari sahabat
Anas ra berkata : “Saya mendengar Rasulullah SAW mengucapkan “Aku
memenuhi panggilan-Mu (Ya Allah) untuk (mengerjakan) umrah dan haji”
(HR. Imam Muslim)
Dalam buku Fiqh As-Sunnah I halaman
551 Sayyid Sabiq menuliskan bahwa salah seorang Sahabat mendengar
Rasulullah SAW mengucapkan (نَوَيْتُ الْعُمْرَةَ اَوْ نَوَيْتُ الْحَجَّ)
“Saya niat mengerjakan ibadah Umrah atau Saya niat mengerjakan ibadah
Haji”
أنه سمعه صلى الله عليه وسلم يقول : " نويت العمرة ، أو نويت الحج
Memang,
ketika Rasulullah SAW melafadzkan niat itu ketika menjalankan ibadah
haji, namun ibadah lainnya juga bisa diqiyaskan dengan hal ini, demikian
juga kesunnahan melafadzkan niat pada shalat juga diqiyaskan dengan
pelafadzan niat dalam ibadah haji. Hadits tersebut merupakan salah satu
landasan dari Talaffudz binniyah.
Hal ini, sebagaimana juga dikatakan oleh
al-‘Allamah al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami (ابن حجر الهيتمي ) didalam
Kitab Tuhfatul Muhtaj (II/12) ;
(ويندب النطق) بالمنوي (قبيل التكبير) ليساعد اللسان القلب وخروجا من خلاف من أوجبه وإن شذ وقياسا على ما يأتي في الحج
“Dan
disunnahkan melafadzkan (mengucapkan) niat sebelum takbir, agar lisan
dapat membantu hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang
mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syad (
menyimpang), dan Kesunnahan ini juga karena qiyas terhadap adanya pelafadzan dalam niat haji”
Qiyas juga menjadi dasar dalam ilmu Fiqh,
Al-Allamah Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz didalam Fathul Mu'in Hal. 1 :
واستمداده من الكتاب والسنة والاجماع والقياس.
Ilmu Fiqh dasarnya adalah kitab Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Al-Imam Nashirus Sunnah Asy-Syafi'i, didalam kitab beliau Ar-Risalah الرسالة :
أن ليس لأحد أبدا أن يقول في شيء حل ولا حرم إلا من جهة العلم وجهة العلم الخبر في الكتاب أو السنة أو الأجماع أو القياس
..selamanya
tidak boleh seseorang mengatakan dalam hukum baik halal maupun haram
kecuali ada pengetahuan tentang itu, pengetahuan itu adalah al-Kitab
(al-Qur'an), as-Sunnah, Ijma; dan Qiyas.”
قلت لو كان القياس نص كتاب أو سنة قيل في كل ما كان نص كتاب هذا حكم الله وفي كل ما كان نص السنة هذا حكم رسول الله ولم نقل له قياس
Aku
(Imam Syafi'i berkata), jikalau Qiyas itu berupa nas Al-Qur'an dan
As-Sunnah, dikatakan setiap perkara ada nasnya didalam Al-Qur'an maka
itu hukum Allah (al-Qur'an), jika ada nasnya didalam as-Sunnah maka itu
hukum Rasul (sunnah Rasul), dan kami tidak menamakan itu sebagai Qiyas
(jika sudah ada hukumnya didalam al-Qur'an dan Sunnah).
Maksud
perkataan Imam Syafi'i adalah dinamakan qiyas jika memang tidak
ditemukan dalilnya dalam al-Qur'an dan As-Sunnah. Jika ada dalilnya
didalam al-Qur'an dan as-Sunnah, maka itu bukanlah Qiyas. Bukankah
Ijtihad itu dilakukan ketika tidak ditemukan hukumnya/dalilnya dalam
Al-Qur'an dan As-Sunnah ?
Jadi, melafadzkan niat shalat yang
dilakukan sebelum takbiratul Ihram adalah amalan sunnah dengan
diqiyaskan terhadap adanya pelafadzan niat haji oleh Rasulullah SAW.
Sunnah dalam pengertian ilmu fiqh, adalah apabila dikerjakan mendapat
pahala namun apabila ditinggalkan tidak apa-apa. Tanpa melafadzkan niat,
shalat tetaplah sah dan melafadzkan niat tidak merusak terhadap sahnya
shalat dan tidak juga termasuk menambah-nambah rukun shalat.
Ulama Syafi’iyyah & ulama lainnya yang mensunnahkan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) adalah sebagai berikut ;
Al-Allamah asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (Ulama Madzhab Syafi’iiyah), dalam kitab
Fathul Mu’in bi syarkhi Qurratul 'Ain bimuhimmati ad-Din, Hal. 16 ;
. (و) سن (نطق بمنوي) قبل التكبير، ليساعد اللسان القلب، وخروجا من خلاف من أوجبه.
“Disunnahkan
mengucapkan niat sebelum takbiratul ihram, agar lisan dapat membantu
hati (kekhusuan hati), dan karena mengindari perselisihan dengan ulama
yang mewajibkannya.”
Al-Imam Muhammad bin Abi al-'Abbas Ar-Ramli/Imam Ramli terkenal dengan sebutan "Syafi'i Kecil" [الرملي الشهير بالشافعي الصغير] dalam kitab Nihayatul Muhtaj (نهاية المحتاج), juz I : 437 :
وَيُنْدَبُ
النُّطْقُ بِالمَنْوِيْ قُبَيْلَ التَّكْبِيْرِ لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ
القَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنِ الوِسْوَاسِ وَلِلْخُرُوْجِ مِنْ
خِلاَفِ مَنْ أَوْجَبَهُ
“Disunnahkan
(mandub) melafadzkan niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapt
membantu hati (kekhusuan hati), agar terhindar dari gangguan hati
(was-was) dan karena mengindari perselisihan dengan ulama yang
mewajibkannya”.
Asy-Syeikhul Islam al-Imam al-Hafidz Abu Yahya Zakaria Al-Anshariy (Ulama Madzhab Syafi'iyah) dalam kitab Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab (فتح الوهاب بشرح منهج الطلاب) [I/38] :
( ونطق ) بالمنوي ( قبل التكبير ) ليساعد اللسان القلب
"(Disunnahkan) mengucapkan niat sebelum Takbir (takbiratul Ihram), agar lisan dapat membantu hati.."
Diperjelas (dilanjutkan) kembali dalam Kitab Syarah Fathul Wahab yaitu Hasyiyah Jamal Ala Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab, karangan Al-'Allamah Asy-Syeikh Sulaiman Al-Jamal ;
وَعِبَارَةُ
شَرْحِ م ر لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنْ
الْوَسْوَاسِ وَخُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ انْتَهَتْ
"dan
sebuah penjelasan, agar lisan lisan dapat membantu hati, terhindar dari
was-was, dan untuk mengindari perselisihan dengan ulama yang
mewajibkannya. selesai"
Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Khatib Asy-Syarbainiy, didalam kitab Mughniy Al Muhtaj ilaa Ma'rifati Ma'aaniy Alfaadz Al Minhaj (1/150) ;
( ويندب النطق ) بالمنوي ( قبل التكبير ) ليساعد اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس
"Disunnnahkan
mengucapkan niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati dan
sesungguhnya untuk menghindari kewas-was-was-an (gangguan hati)"
Al-'Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy, didalam As-Siraj Al-Wahaj (السراج الوهاج على متن المنهاج) pada pembahasan tentang Shalat ;
ويندب النطق قبيل التكبير
ليساعد اللسان القلب
"dan disunnahkan mengucapkan (niat) sebelum takbiratul Ihram, agar lisan dapat membantu hati"
Al-‘Allamah Sayid Bakri Syatha Ad-Dimyathiy, dalam kitab
I’anatut Thalibin (إعانة الطالبين) [I/153] ;
(قوله:
وسن نطق بمنوي) أي ولا يجب، فلو نوى الظهر بقلبه وجرى على لسانه العصر لم
يضر، إذ العبرة بما في القلب. (قوله: ليساعد اللسان القلب) أي ولانه أبعد
من الوسواس. وقوله: وخروجا من خلاف من أوجبه أي النطق بالمنوي
“[disunnahkan
melafadzkan niat] maksudnya (melafadzkan niat) tidak wajib, maka
apabila dengan hatinya berniat shalat dzuhur namun lisannya mengucapkan
shalat asar, maka tidak masalah, yang dianggap adalah didalam hati.
[agar lisan membantu hati] maksudnya adalah terhindari dari was-was.
[mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkan] maksudnya dengan
(ulama yang mewajibkan) melafadzkan niat.”
Al-‘Allamah Asy-Syekh Jalaluddin Al-Mahalli, di dalam kitab
Syarah Mahalli Ala Minhaj Thalibin (شرح العلامة جلال الدين المحلي على منهاج الطالبين) Juz I (163) :
(وَيُنْدَبُ النُّطْقُ) بِالْمَنْوِيِّ (قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ
“dan disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbir (takbiratul Ihram), agar lisan dapat membantu hati””
Didalam Kitab Matan Al-Minhaj lisyaikhil Islam Zakariyya Al-Anshariy fi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi'i :
"(disunnahkan) melafadzkan (mengucapkan) niat sebelum Takbir (takbiratul Ihram)"
Kitab
Safinatun Naja, Asy-Syaikh Al-‘Alim Al-Fadlil Salim bin Samiyr Al-Hadlramiy ‘alaa Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i ;
النية : قصد الشيء مقترنا بفعله ، ومحلها القلب والتلفظ بها سنة
"Niat
adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan pekerjaannya, adapun
tempatnya niat didalam hati sedangkan mengucapkan dengan lisan itu
sunnah"
Didalam kitab
Niyatuz Zain Syarh Qarratu 'Ain, Al-'Allamah Al-'Alim Al-Fadil Asy-Syekh An-Nawawi Ats-Tsaniy (Sayyid Ulama Hijaz) ;
أما التلفظ بالمنوي فسنة ليساعد اللسان القلب
"adapun melafadzkan niat maka itu sunna supaya lisan dapat membantu hati"
Kitab
Faidlul Haja 'alaa Nailur Roja, Al-'Alim Ahmad Sahal bin Abi Hasyim Muhammad Mahfudz Salam Al-Hajiniy ;
قوله
واللفظ سنة) اللفظ بمعنى التلفظ مصدر لفظ يلفظ من باب ضرب يضرب أى والتلفظ
بها أى بالنية سنة فى جميع الأبواب كما قاله حج خروجا من خلاف موجبه
" melafadzkan (niat) itu sunnah.."
Kitab
Minhajut Thullab, Al-Imam Zakariyya Al-Anshariy ,
وسن نية نفل فيه وإضافة لله ونطق قبيل التكبير وصح أداء بنية وقضاء وعكسه لعذر وتكبير تحرم مقرونا به النية
"...(sunnah) mengucapkan (niat) sebelum takbir..."
Minhaj Ath-Thalibin wa Umdat Al-Muftin, Al-Imam An-Nawawi,
والنية بالقلب ويندب النطق قبل التكبير
"niat didalam hati dan sunnah melafadzkan/mengucapkan niat sebelum takbir"
Al-'Allamah Asy-Syekh Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy, didalam kitab Minhajul Qawim (1/191) ;
فصل
في سنن الصلاة وهي كثيرة ( و ) منها أنه ( يسن التلفظ بالنية ) السابقة
فرضها ونفلها ( قبيل التكبير ) ليساعد اللسان القلب وخروجا من خلاف من أوجب
ذلك
"Fashal didalam menerangkan sunnah-sunnah shalat, dan sunnah
shalat itu banyak, diantaranya adalah disunnahkan melafadzkan niat
sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapat membantu hati dan untuk keluar
(menghindari) khilaf ulama yang mewajibkannya"
Al-'Allamah
Asy-Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairamiy Asy-Syafi'i,
Tuhfatul habib ala syarhil khotib(1/192), Darul Kutub Ilmiyah, Beirut -
Lebanon ;
قوله : ( ومحلها القلب ) نعم يسن التلفظ بها في جميع الأبواب خروجاً من خلاف من أوجبه
"qouluhu
(tempatnya niat didalam hati), memang disunnahkan talaffudz biha
(melafadzkan niat) didalam semua bab-bab untuk menghindari perselisihan
dengan ulama yang mewajibkannya"
Al-'Allamah Al-Imam
Muhammad Asy-Syarbiniy Al-Khatib, didalam kitab Al-Iqna' Fiy Alfaadh Abi
Syuja', pada pembahasan "Arkanush shalah" ;
ويندب النطق بالمنوي قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس
"dan
disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapat
membantu hati, dan karena sesungguhnya menjauhi dari was-was"
Didalam
kitab Al-Wafi Syarah Arba'in An-Nawawi, Asy-Syekh Musthafa Al-Bugha
& Asy-Syekh Muhyiddin Misthu, telah menjelaskan tentang hadits No.1,
ومحل النية القلب؛ فل يشترط التلفظ بها؛ ولكن يستحب ليساعد اللسان القلب على استحضارها
"dan
tempat niat dalam hati, tiada disyaratkan melafadzkannya, dan tetapi
disunnahkan (melafadzkan) agar lisan dapat membantu hati dengan
menghadirkan niat"
Didalam kitab Al-Futuhat
Ar-Rabbaniyah (Syarah) 'alaa Al-Adzkar An-Nawawiyah (1/54), Asy-Syekh
Muhammad Ibnu 'Alan Ash-Shadiqiy mengatakan,
نعم يسن
النطق بها ليساعد اللسان القلب ولأنه صلى الله عليه وآله وسلم نطق بها في
الحج فقسنا عليه سائر العبادات وعدم وروده لا يدل على عدم وقوعه
"Iya,
sunnah mengucapkan niat agar lisan dapat membantu hati, dan karena
sesungguhnya Nabi mengucapkan niat dalam ibadah haji, maka diqiyaskan
kepadanya dalam seluruh Ibadah, dan ketiadaan yang meriwayatkannya tidak
menunjukkan atas ketiadaannya dan terjadinya"
Redaksi melafadzkan niat dari Imam Syafi'i, di riwayatkan dari Al-Hafidz Al-Imam Ibnu Muqri' didalam kitab Mu'jam beliau (336) :
أخبرنا
ابن خزيمة حدثنا الربيع قال كان الشافعي إذا أراد أن يدخل في الصلاة، قال:
بسم الله، موجها لبيت الله، مؤديا لفرض الله، الله أكبر
"Mengabarkan
kepadaku Ibnu Khuzaimah, mengabarkan kepadaku Ar-Rabi' berkata, Imam
Syafi'i ketika akan masuk dalam Shalat berkata,
(بسم الله، موجها لبيت الله، مؤديا لفرض الله، الله أكبر)"
Hawasyi Asy-Syarwaniy (1/240) ;
قوله:
(سنن كثيرة) منها تقديم النية مع أول السنن المتقدمة على غسل الوجه فيحصل
له ثوابها كما مر ومنها التلفظ بالمنوي ليساعد اللسان القلب
"disunnahkan melafadzkan niat agar lisan dapat membantu hati"
Tujuan dari melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) sebagaimana dijelaskan diatas adalah
agar lisan dapat membantu hati yaitu membantu kekhusuan hati,
menjauhkan dari was-was (gangguan hati), serta untuk
menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya, itu karena menghindar dari khilaf ulama hukumnya hukumnya adalah sunnah. Selain itu lafadz niat adalah hanya demi ta’kid yaitu
penguat apa yang diniatkan.
Berkata
shohibul Mughniy : Lafdh bimaa nawaahu kaana ta’kiidan (Lafadz dari apa
apa yg diniatkan itu adalah demi penguat niat saja) (Al Mughniy Juz 1
hal 278), demikian pula dijelaskan pd Syarh Imam Al Baijuri Juz 1 hal
217 bahwa lafadh niat bukan wajib, ia hanyalah untuk membantu saja.
Imam Al-Bahuuti (Ulama Hanabilah) berkata dalam Syarah Muntaha Al-Iradat ;
باب النية لغة : القصد ، يقال : نواك الله بخير ، أي قصدك به ، ومحلها : القلب ، فتجزئ وإن لم يتلفظ .
ولا يضر سبق لسانه بغير قصده وتلفظه بما نواه تأكيد
".. dan melafadzkannya dengan apa yang diniatkan adalah penguat (ta'kid)"
Dan
sungguh begitu indahnya kata-kata ulama, mereka sebisa mungkin
menghindari perselisihan bahkan dalam perkara yang seperti ini, tidak
seperti saat ini, sebagian kelompok kecil ada yang beramal ASBED (asal
beda), selalu mengangkat perkara khilafiyah dan begitu mudah mulut
mereka membuat tuduhan bid’ah terhadap pendapat yang lainnya. Padahal
dengan kata lain, tuduhan bid’ah yang mereka lontarkan, hakikatnya telah
menghujat ulama dan menuduh ulama-ulama Madzhab yang telah
mensunnahkannya.
Kesunnahan melafadzkan niat dari ulama
Syafi’iiyah juga dapat dirujuk pada pendapat dalam kitab ulama
syafi’iiyah lainnya maupun kitab-kitab ulama madzhab yang lainnya.
Melafadzkan
niat (Talaffudz binniyah) juga merupakan ucapan yang baik, bukan ucapan
yang buruk, kotor maupun tercela. Sebagai sebuah perkataan yang baik
maka tentunya diridhoi oleh Allah Subhanahu wa ta’alaa dan Allah senang
dengan perkataan yang baik. Dengan demikian ucapan yang terlontar dari
lisan seorang hamba akan dicatat oleh malaikat sebagai amal bagi hamba
tersebut.
Allah berfirman ;
مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (QS. al-Qaaf 50 : 18)
مَن
كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعاً إِلَيْهِ
يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
‘Barangsiapa
yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya.
Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh
dinaikkan-Nya” (QS. al-Fathir 35 : 10)
Maka demikian,
melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) sebagai sebuah ucapan yang baik,
juga memiliki nilai pahala sendiri disisi Allah berdasarkan ayat
al-Qur’an diatas.
Didalam madzhab lainnya selain madzhab
Syafi’iiyah juga mensunnahkan melafadzkan niat, misalnya ; Mazhab Hanafi
(Ulama Hanafiyah) berpendapat bahwa niat sholat adalah bermaksud untuk
melaksanakan shalat karena Allah dan letaknya dalam hati, namun tidak
disyaratkan melafadhkannya dengan lisan. Adapun melafadhkan niat dengan
lisan sunnah hukumnya, sebagai pembantu kesempurnaan niat dalam hati.
Dan menentukan jenis sholat dalam niat adalah lebih afdlal. [al-Badai’
I/127. Ad-Durru al-Muhtar I/406. Fathu al-Qadir I/185 dan al-lubab I/66]
Mazhab
Hanbali (Ulama Hanabilah) berpendapat bahwa niat adalah bermaksud untuk
melakukan ibadah, yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Shalat tidak sah tanpa niat, letaknya dalam hati, dan sunnah melafadzkan
dengan lisan, disyaratkan pula menentukan jenis sholat serta tujuan
mengerjakannya. [al-Mughny I/464-469, dan II/231. Kasy-Syaaf al-Qona’
I364-370]
Mazhab Maliki (Ulama Malikiyah) berpendapat bahwa niat
adalah bermaksud untuk melaksanakan sesuatu dan letaknya dalam hati.
Niat dalam sholat adalah syarat sahnya sholat, dan sebaiknya tidak
melafadzkan niat, agar hilang keragu-raguannya. Niat sholat wajib
bersama Takbiratul Ihram, dan wajib menentukan jenis sholat yang
dilakukan [asy-Syarhu ash-Shaghir wa-Hasyiyah ash-Shawy I/303-305,
al-Syarhu al-Kabir ma’ad-Dasuqy I/233 dan 520]
Misalnya dari Kalangan Malikiyah, Al-Imam Al-'Allamah Ad-Dardir rahimahullah ta'alaa didalam Syarh Al-Kabir,
قال
العلامة الدردير رحمه الله تعالى في الشرح الكبير ( ولفظه ) أي تلفظ
المصلي بما يفيد النية كأن يقول نويت صلاة فرض الظهر مثلا ( واسع ) أي جائز
بمعنى خلاف الأولى . والأولى أن لا يتلفظ لأن النية محلها القلب ولا مدخل
للسان فيها
..dan melafadzkan niat yaitu seorang mushalli
melafadzkan niat dimana dia mengatakan seumpama (نويت صلاة فرض الظهر)
adalah wasi'/luas maksudnya boleh (جائز) bimakna khilaful Aula..
Ulama Maliki lainnya, Al-Imam Ad-Dasuqiy Al-Maliki rahimahullah didalam kitab Hasyiyahnya 'alaa Syarh Al-Kabir berkata,
قال
الدسوقي رحمه الله تعالى في حاشيته على الشرح الكبير : لكن يستثنى منه
الموسوس فإنه يستحب له التلفظ بما يفيد النية ليذهب عنه اللبس كما في
المواق وهذا الحل الذي حل به شارحنا وهو أن معنى واسع أنه خلاف الأولى
dan tetapi dikecualikan bagi orang yang was-was maka sesungguhnya baginya di sunnahkan melafadzkan niat..
DR.
Wahbah Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhul Islam I/767 : "Disunnatkan
melafadzkan niat menurut jumhur selain madzab maliki." Didalam kitab
yang sama juga diterangkan mengenai pendapat madzhab Maliki, jilid I/214
bahwa : “Yang utama adalah tidak melafadzkan niat kecuali bagi
orang-orang yang berpenyakit was-was, maka disunnatkan baginya agar
hilang daripadanya keragu-raguan".
Hal-Hal Yang Berkaitan :
[-].
Perihal Hadits (إِنَّمَا
اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى),
“Sesungguhnya amalan-amalan itu dikerjakan dengan niat, dan bagi setiap
orang apa yang dia niatkan” [Arba’in an-Nawawi, hadits pertama (متفق
عليه)]
Hadits ini sama sekali tidak berbicara bahwa melafadzkan
niat adalah bid’ah, namun mengenai niat sebagai syarat sahnya sebuah
amal, atau niat sebagai penyempurna sebuah amalan. Sebagaimana shalat
juga tidak sah jika tidak disertai dengan niat, sebab niat dalam shalat
merupakan bagian dari rukun sholat yang aktifitasnya didalam hati.
Berbeda dengan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) dimana aktifitasnya
adalah lisan dan bukan merupakan rukun shalat, namun sunnah. Kesunnanan
ini (Talaffudz binniyah) baik dikerjakan atau tidak, tidak merusak pada
sahnya shalat dan tidak juga menjadikan shalat batal.
Didalam kitab syarahnya pun yaitu dalam kitab Al-Wafi Syarah Arba'in An-Nawawi, telah menjelaskan tentang hadits No.1,
ومحل النية القلب؛ فل يشترط التلفظ بها؛ ولكن يستحب ليساعد اللسان القلب على استحضارها
"dan
tempat niat dalam hati, tiada disyaratkan melafadzkannya, dan tetapi
disunnahkan (melafadzkan) agar lisan dapat membantu hati dengan
menghadirkan niat"
[-].
Perihal Jawaban Imam Ahmad :
Abu Dawud As-Sijistany , penulis kitab As-Sunan pernah bertanya kepada
Imam Ahmad, "Apakah seorang yang mau melaksanakan Sholat mengucapkan
sesuatu sebelum takbir?" Jawab beliau, " tidak usah". [Lihat Masa'il Abi
Dawud (hal.31)]
Dalam Masa’il Abi Daud diatas, Imam Ahmad tidak
membid’ahkan, beliau hanya mengatakan tidak usah. Sedangkan kalangan
Madzhab Hanabilah sendiri mensunnahkan melafadzkan nit.
[-] Ada yang mengatakan, "yang didahulukan itu seharusnya adalah sabda Nabi bukan Ulama".
Jawaban
: "memang benar, tetapi siapa yang lebih paham mengenai sabda/perbuatan
Nabi daripada Ulama ?? Tentu saja yang diikuti adalah ulama yang tepat,
yang lebih paham sabda Nabi.
[-]
Perihal Ulama Yang Mewajibkan (Melafadzkan niat)
Ini
kami anggap penting untuk dijelaskan, agar tidak terjadi salah paham
atau disalah pahami untuk menyalah pahamkan pendapat lainnya.
Sebagaimana sudah disebutkan diatas, oleh Imam Ibnu Hajar Al-Haitami
(Tuhfatul Muhtaj), Imam Ramli (Nihayatul Muhtaj), Al-'Allamah Syeikh
Zainuddin bin Abdul Aziz (Fathul Mu'in) dan yang lainnya, bahwa
penetapan hukum sunnah terhadap melafadzkan niat (talaffudz binniyah)
juga bermaksud menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya.
Perlu
diketahui bahwa ulama yang mewajibkan (talaffudz binniyah) juga
dinisbatkan kepada madzhab Syafi'iyyah sebab memang masih bermadzhab
Syafi'i. Beliau adalah
Imam Abu Abdillah az-Zubairiy (أبي عبد الله الزبيري).
Beliau mewajibkan melafadzkan niat berdasarkan pemahamannya terhadap
perkataan Imam Syafi'i tentang "an-Nuthq (النطق). Menurut pemahaman
beliau apa yang dimaksud oleh Imam Syafi'i dengan "an-nuthq (النطق)"
adalah melafadzkan niat. Padahal yang dimaksud oleh Imam Syafi'i dengan
an-Nuthq (النطق) adalah Takbir (Takbiratul Ihram), menurut Al-Imam
Nawawi. Hal ini dijelaskan dalam Kitab Al-Majmu' (II/43) ;
، لأن الشافعي رحمه الله قال في الحج : إذا نوى حجا أو عمرة أجزأ ، وإن لم يتلفظ وليس كالصلاة لا تصح إلا بالنطق
"Karena
sesungguhnya Al-Imam asy-Syafi'i berkata didalam (Bab) Haji : "apabila
seseorang berniat menunaikan ibadah haji atau umrah dianggap cukup
sekalipun tidak dilafadzkan. Tidak seperti shalat, tidak dianggap sah
kecuali dengan melafadzkannya (an-Nuthq)"
Jadi,
beliau (Abu Abdillah az-Zubairiy ) mengira bahwa Imam Syafi'i memasukkan
talaffudz binniyah menjadi bagian dari syarat sahnya shalat, padahal
tidak demikian.
Maka, itu sebabnya pendapat yang mewajibkan ini
dikatakan syad (menyimpang) oleh Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy didalam
Tuhfatul Muhtaj (II/12) :
وخروجا من خلاف من أوجبه وإن شذ وقياسا على ما يأتي في الحج
"
dan (juga) untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun
(pendapat yang mewajibkan ini) adalah syad ( menyimpang)"
Imam an-Nawawi didalam kitab Al-Majmu' (II/43) juga menjelaskan kekeliruan tersebut.
قال أصحابنا : غلط هذا القائل ، وليس مراد الشافعي بالنطق في الصلاة هذا ، بل مراده التكبير
"beberapa
shahabat kami berkata : "Orang yang mengatakan hal itu telah keliru.
Bukan itu yang dikehendaki oleh Al-Imam Asy-Syafi'i dengan kata
"an-Nuthq (melafadzkan)" di dalam shalat, tetapi yang dikehendaki adalah
Takbir (Takbiraul Ihram)"
Sementara lihatlah begitu
indah menyebut Syekh Abu Abdillah az-Zubairy dengan sebutan "Ashabinaa",
walaupun tidak menyetujui pendapatnya. Tauladan yang sangat terpuji
dalam menyikapi khilafiyah.
Disebutkan juga dalam Al-Hawi fiy Fiqh Asy-Syafi'i, Al-Imam Al-Mawardiy Asy-Syafi'i, Darul Kutub Ilmiyyah, Beirut - Lebanon ;
وَقَالَ
أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الزُّبَيْرِيُّ مِنْ أَصْحَابِنَا : النِّيَّةُ
اعْتِقَادٌ بِالْقَلْبِ وَذِكْرٌ بِاللِّسَانِ لِيُظْهِرَ بِلِسَانِهِ مَا
اعْتَقَدَهُ بِقَلْبِهِ فَيَكُونُ عَلَى كَمَالٍ مِنْ نِيَّتِهِ وَثِقَةٍ
مِنَ اعْتِقَادِهِ ، وَهَذَا لَا وَجْهَ لَهُ : لِأَنَّ الْقَوْلَ لَمَّا
اخْتَصَّ بِاللِّسَانِ حكم النية به لَمْ يَلْزَمِ اعْتِقَادُهُ
بِالْقَلْبِ ، وَجَبَ أَنْ تَكُونَ النِّيَّةُ إِذَا اخْتَصَّتْ
بِالْقَلْبِ لَا يَلْزَمْ ذِكْرُهَا بِاللِّسَانِ . فَعَلَى هَذَا لَوْ
ذَكَرَ النِّيَّةَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَعْتَقِدْهَا بِقَلْبِهِ لَمْ
يُجِزْهُ عَلَى الْمَذْهَبَيْنِ مَعًا . فَلَوِ اعْتَقَدَهَا بِقَلْبِهِ
وَذَكَرَهَا بِلِسَانِهِ أَجْزَأَهُ عَلَى الْمَذْهَبَيْنِ جَمِيعًا
وَذَلِكَ أَكْمَلُ أَحْوَالِهِ ، وَلَوِ اعْتَقَدَ النِّيَّةَ بِقَلْبِهِ
وَلَمْ يَذْكُرْهَا بِلِسَانِهِ أَجْزَأَهُ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ ،
وَلَمْ يُجْزِئْهُ عَلَى مَذْهَبِ الزُّبَيْرِيِّ
dan
didalam kitab Hilyatul Ulama fiy Ma'rifati Madzahib Al-Fuqaha (2/70),
Al-Imam Saifuddin Abu Bakar Muhammad bin Ahmad Asy-Syasyi Al-Qaffal,
وينوي والنية فرض للصلاة ومحلها القلب وغلط بعض أصحابنا فقال لا تجزئه النية حتى يتلفظ بلسانه
Jadi,
pendapat yang dianggap menyimpang/keliru adalah jika melafadzkan niat
(talaffudz binniyah) dimasukkan sebagai bagian dari fardhu shalat atau
shalat dianggap tidak cukup jika tanpa melafadzkan niat. Sebab
mewajibkan talaffudz binniyah sama saja telah masukkannya sebagai bagian
dari shalat. Maka yang sebenarnya tidak dikehendaki adalah dalam hal
mewajibkannya bukan kesunnahan melafadzkan niat.
REFERENSI :
Kitabul
Ilah (al-Qur’an) ; Al-Majmu’, Hujjatul Islam Al-Imam An-Nawawi ;
Raudhatut Thalibin, Hujjatul Islam Al-Imam Nawawi ; Arbai’in An-Nawawi ,
Hujjatul Islam Al-Imam Nawawi ; Fathul Mu’in, Syekh Zainuddin bin
Abdul Aziz al-Malibariy ; Fathul Qarib, Al-Imam Syamsuddin Abu Abdillah
Muhammad bin Qasim Asy-Syafi’i ; As-Siraj Al-Wahaj, Al-'Allamah
Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy ; Nihayatul Muhtaj, Al Imam
Muhammad bin Abi al-'Abbas ar-Ramli (Imam Ramli) ; Kifayatul Akhyar,
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini ; Al-Lubab fi
al-Fiqh asy-Syafi'i, Al-Qadhi Abu al-Hasan al-Mahamiliy ; Tuhfatul
Muhtaj Bisyarhi Minhaj, Al Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy ; Al-Umm ,
Nashirus Sunnah Al-Imam Al-Mujtahid Asy-Syafi'i ; Al-Fiqhul Islam, DR.
Zuhaili Wahbah ; Fiqh As-Sunnah, Sayyid Sabiq ; Hasyiyah Jamal Ala
Fathul Wahab, Al-'Allamah Asy-Syeikh Sulaiman Al-Jamal ; Al-Fiqh
al-Manhaji 'ala Madzhab Imam Syafi'i, DR. Musthafa Al-Khin &
al-Bugha ; Al-Wajiz fi Fiqh Al-Imam asy-Syafi'i, Hujjatul Islam
Al-Faqih Al-Imam Al-Ghazaliy ; Mughniy Al Muhtaj ilaa Ma'rifati Ma'aaniy
Alfaadz Al Minhaj, Imam Asy-Syarbainiy ; Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj
Thullab, al-Imam Zakaria Al-Anshariy ; I’anatut Thalibin, Al-‘Allamah
Sayid Bakri Syatha Ad-Dimyathiy ; Syarah Mahalli Ala Minhaj Thalibin,
Al-Allamah Jalaluddin Al-Mahalli ; Tanbih fi Fiqh Asy-Syafi'i,
Asy-Syekh Abu Ishaq asy-Syairaziy ; Safinatun Naja, Asy-Syaikh Al-‘Alim
Al-Fadlil Salim bin Samiyr Al-Hadlramiy ; Niyatuz Zain Syarh Qarratu
'Ain, Asy-Syekh An-Nawawi Ats-Tsaniy ; Faidlul Haja 'alaa Nailur Roja,
Al-'Alim Ahmad Sahal Al-Hajiniy ; Minhajut Thullab, Al-Imam Zakariyya
Al-Anshariy ; Minhaj Ath-Thalibin wa Umdat Al-Muftin, Al-Imam An-Nawawiy
; Minhajul Qawim, Al-Imam An-Nawawiy ; Tuhfatul habib ala syarhil
khotib, Al-'Allamah Asy-Syekh Sulaiman Al-Bujairamiy ; Al-Iqna' Fiy
Alfaadh Abi Syuja', Al-Imam Muhammad Asy-Syarbiniy Al-Khatib ; Al-Wafi
Syarah Arba'in An-Nawawi, Asy-Syekh Musthafa Al-Bugha & Misthu ;
Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah (Syarah) 'alaa Al-Adzkar, Imam Ibnu 'Alan ;
Al-Mu'jam, Imam Ibnu Muqri' ; Al-Hawi fiy Fiqh Asy-Syafi'i, Al-Imam
Al-Mawardiy Asy-Syafi'i ; Hilyatul Ulama fiy Ma'rifati Madzahib
Al-Fuqaha, Al-Imam Al-Qaffal ; Dan dari berbagai sumber (lain-lain).
*artikel baru
Sahabat -
Al Faruq- Umar bin Khaththab
radhiyallahu ’anhu berkata,”Saya mendengar Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,’
Sesungguhnya
amal itu tergantung niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan yang ia
niatkan. Barangsiapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia
telah berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang
hijrahnya itu karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang
akan dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya’.”
(HR. Bukhari & Muslim). Inilah hadits yang menunjukkan bahwa amal
seseorang akan dibalas atau diterima tergantung dari niatnya.
Setiap Orang Pasti Berniat Tatkala Melakukan Amal
Niat adalah amalan hati dan hanya Allah
Ta’ala yang mengetahuinya.
Niat itu tempatnya di dalam hati dan bukanlah di lisan,
hal ini berdasarkan ijma' (kesepakatan) para ulama sebagaimana yang
dinukil oleh Ahmad bin Abdul Harim Abul Abbas Al Haroni dalam Majmu'
Fatawanya.
Setiap orang yang melakukan suatu amalan pasti telah memiliki niat
terlebih dahulu. Karena tidak mungkin orang yang berakal yang punya
ikhtiar
(pilihan) melakukan suatu amalan tanpa niat. Seandainya seseorang
disodorkan air kemudian dia membasuh kedua tangan, berkumur-kumur hingga
membasuh kaki, maka tidak masuk akal jika dia melakukan pekerjaan
tersebut -yaitu berwudhu- tanpa niat. Sehingga sebagian ulama
mengatakan,”
Seandainya Allah membebani kita suatu amalan tanpa niat, niscaya ini adalah pembebanan yang sulit dilakukan.”
Apabila setan membisikkan kepada seseorang yang selalu merasa was-was
dalam shalatnya sehingga dia mengulangi shalatnya beberapa kali. Setan
mengatakan kepadanya,”
Hai manusia, kamu belum berniat”. Maka ingatlah,”
Tidak mungkin seseorang mengerjakan suatu amalan tanpa niat. Tenangkanlah hatimu dan tinggalkanlah was-was seperti itu.”(Lihat
Syarhul Mumthi, I/128 dan
Al Fawa’id Dzahabiyyah, hal.12)
Melafadzkan Niat
Masyarakat kita sudah sangat akrab dengan melafalkan niat (maksudnya
mengucapkan niat sambil bersuara keras atau lirih) untuk ibadah-ibadah
tertentu. Karena demikianlah yang banyak diajarkan oleh ustadz-ustadz
kita bahkan telah diajarkan di sekolah-sekolah sejak Sekolah Dasar
hingga perguruan tinggi. Contohnya adalah tatkala hendak shalat berniat ’
Usholli fardhol Maghribi ...’ atau pun tatkala hendak berwudhu berniat ’
Nawaitu wudhu’a liraf’il hadatsi ...’.
Kalau kita melihat dari hadits di atas, memang sangat tepat kalau
setiap amalan harus diawali niat terlebih dahulu. Namun apakah niat itu
harus dilafalkan dengan suara keras atau lirih?!
Secara logika mungkin dapat kita jawab. Bayangkan berapa banyak niat
yang harus kita hafal untuk mengerjakan shalat mulai dari shalat sunat
sebelum shubuh, shalat fardhu shubuh, shalat sunnah dhuha, shalat sunnah
sebelum dzuhur, dst. Sangat banyak sekali niat yang harus kita hafal
karena harus dilafalkan. Karena ini pula banyak orang yang meninggalkan
amalan karena tidak mengetahui niatnya atau karena lupa. Ini sungguh
sangat menyusahkan kita. Padahal Nabi kita
shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,”
Sesungguhnya agama itu mudah.” (HR. Bukhari)
Ingatlah setiap ibadah itu bersifat
tauqifiyyah, sudah
paketan dan baku. Artinya setiap ibadah yang dilakukan harus ada dalil
dari Al Qur’an dan Hadits termasuk juga dalam masalah niat.
Setelah kita lihat dalam buku tuntunan shalat yang tersebar di
masyarakat atau pun di sekolahan yang mencantumkan lafadz-lafadz niat
shalat, wudhu, dan berbagai ibadah lainnya, tidaklah kita dapati mereka
mencantumkan ayat atau riwayat hadits tentang niat tersebut. Tidak
terdapat dalam buku-buku tersebut yang menyatakan bahwa lafadz niat ini
adalah hadits riwayat Imam Bukhari dan sebagainya.
Imam Ibnul Qayyim
rahimahullah mengatakan dalam kitab beliau
Zaadul Ma’ad, I/201,
”Jika seseorang menunjukkan pada kami satu hadits saja dari Rasul dan
para sahabat tentang perkara ini (mengucapkan niat), tentu kami akan
menerimanya. Kami akan menerimanya dengan lapang dada. Karena tidak ada
petunjuk yang lebih sempurna dari petunjuk Nabi dan sahabatnya. Dan
tidak ada petunjuk yang patut diikuti kecuali petunjuk yang disampaikan
oleh pemilik syari’at yaitu Nabi
shalallahu ’alaihi wa sallam.” Dan sebelumnya beliau mengatakan mengenai petunjuk Nabi dalam shalat,”Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak mendirikan shalat maka beliau mengucapkan : ‘
Allahu Akbar’. Dan
beliau tidak mengatakan satu lafadz pun sebelum takbir dan tidak pula melafadzkan niat sama sekali.”
Maka setiap orang yang menganjurkan mengucapkan niat wudhu, shalat,
puasa, haji, dsb, maka silakan tunjukkan dalilnya. Jika memang ada dalil
tentang niat tersebut, maka kami akan ikuti. Dan janganlah berbuat
suatu perkara baru dalam agama ini yang tidak ada dasarnya dari Nabi.
Karena Nabi kita
shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,”
Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak ada dasar dari kami, maka amalan tersebut tertolak. (HR. Muslim). Dan janganlah selalu beralasan dengan mengatakan ’
Niat kami kan baik’, karena sahabat Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ’anhuma mengatakan,”
Betapa banyak orang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi, sanadnya shahih, lihat
Ilmu Ushul Bida’, hal. 92)
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat wa shallallahu ’ala Muhammad wa ’ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Tulisan sederhana di masa Islam, diterbitkan oleh
Buletin Dakwah At Tauhid